Minggu, 15 April 2012

KELUARGA SEBAGAI KEKUATAN PENCEGAH KENAKALAN ANAK DAN REMAJA

KELUARGA SEBAGAI KEKUATAN PENCEGAH KENAKALAN ANAK DAN REMAJA

Pendahuluan


Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Upaya rehabilitasi dianggap lebih tepat untuk mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal ini karena remaja adalah generasi penerus yang masih memungkinkan potensi sumberdaya manusianya berkembang, sehingga pada saatnya akan menggantikan generasi sebelumnya menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.

Pada saat ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja. Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan, tidak patuh pada orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang yang melakukan kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap harinya 2500 anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan rendah, 135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau gonorhoe, dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (Horn, 1991). Di Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun 1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data ini telah meningkat  menjadi 18.946 pelaku yang ditangkap (Justika, 1999).


Kenakalan Remaja


Menurut C. Zastrow (1982), Juvenile Deliquency atau kenakalan remaja adalah label perilaku-perilaku, seperti menjauh/menghindar dari sekolah, dari kebosanan, dari orang tua yang menterlantarkan, dari kesulitan diri, dari rumah yang bermasalah, dari situasi rumah yang membosankan, dari rumah yang tidak bahagia, dari kehidupan yang sulit, dan dari kesulitan yang satu ke kesulitan yang lain. Perilaku mereka berkisar dari perilaku agresi pasif (bolos sekolah) ke perilaku kenakalan atau kejahatan, perilaku yang tidak dapat dikendalikan (menentang aturan-aturan disiplin keluarga, minggat, mencuri kecil-kecilan di toko) ke perilaku agresi aktif  dan kejahatan (vandalisme / merusak tanpa alas an, membakar rumah dengan sengaja, dan penyerangan secara fisik). Mereka berumur di bawah 17 tahun dan berasal dari semua tingkatan ekonomi  (orang kaya, berpenghasilan menengah, pegawai tapi miskin, dan miskin akut), dan single parent maupun keluarga utuh, laki-laki maupun perempuan, dan tidak mengenal ras.

Menurut Parillo, Stimpson dan Stimpson (1985), yang tergolong remaja nakal adalah mereka yang ditangkap, seperti :

Anak laki-laki yang ditangkap lebih daripada anak perempuan

Angka penangkapan untuk kenakalan yang paling tinggi di kota-kota paling besar , yang paling tinggi berikutnya di daerah-daerah subur, dan yang paling rendah adalah di wilayah-wilayah pedesaan. Pola ini sama dalam semua bentuk kejahatan.

Angka penangkapan yang paling tinggi adalah kalangan anak-anak yang berasal dari keluarga pecah (single parent) dan keluarga yang sangat besar.

Mereka yang ditangkap biasanya berakibat buruk di sekolah, menyebabkan putus sekolah atau prestasinya rendah di bawah rata-rata.

Mereka yang ditangkap biasanya tinggal di wilayah-wilayah yang bercirikan adanya deprivasi sosial dan ekonomi (tempat tinggal lebih penting daripada status keluarga dilihat dari resiko ditangkap).


Penyebab Kenakalan Remaja


Manusia, termasuk anak dan remaja adalah mahluk sosial yang senantiasa melakukan interaksi yang terbuka dengan berbagai faktor yang sulit dideteksi secara jelas, dan memungkinkan lebih bersifat individual. Profesi pekerjaan sosial merupakan profesi yang  bertanggung jawab atas masalah sosial kenakalan remaja, menunjuk ketidakmampuan orang tua sebagai penyebab kenakalan remaja, yang dalam hal ini berarti keluarga. Orang tua seharusnya memiliki kompetensi untuk mengendalikan anak-anak mereka, terutama yang sedang memasuki masa remaja. Sosiolog memandang disorganisasi sosial sebagai penyebab terjadinya kenakalan semaja, sedangkan psikolog mengacu pada pandangan Freud, bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh terjadinya inner conflict, kelabilan emosional dan emosi alam bawah sadar lainnya.

Keluarga sering dianggap sebagai sumber tunggal dari banyak masalah sosial. Teoritisi Fungsionalis beranggapan bahwa ketidakmampuan kelompok tertentu, terutama orang-orang miskin dan para imigran, mengakibatkan anak-anak mereka mencari hubungan-hubungan alternatif seperti gang, kelompok kriminal, dan kelompok sebaya yang menyimpang lainnya. Teoritisi Interaksionist mempelajari pola-pola interaksi  keluarga sebagai petunjuk mengapa beberapa anggota keluarga berubah menyimpang, misalnya : keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan dan keluarga yang pasangannya tidak menikah, tetapi menganut norma-norma keluarga konvensional, sering mendapat stigma dan sumber masalah sosial. Bagi Teoritisi Konflik, keluarga adalah sumber masalah sosial ketika nilai-nilai yang diajarkan bertentangan dengan masyarakat yang lebih besar. Para sosiolog mengabaikan perspektif teoritis tentang keluarga tersebut dan cenderung memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh institusi-institusi dalam masyarakat, terutama institusi-institusi kesejahteraan sosial, untuk mempertahankan dan memperkuat stabilitas keluarga.

Keluarga sebagai iakatan sosial pertama yang dialami oleh seseorang. Di dalam keluargalah anak belajar untuk hidup sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungannya (learning to live as a social being) (Brill, 1978). Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia. Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti, tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.

Suatu keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan, misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah, sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi tanpa mendapat bimbingan yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya.


Perubahan Keluarga dan Kenakalan Remaja


Unit keluarga adalah sekelompok individu-individu yang satu sama lain dihubungkan baik oleh darah, maupun oleh institusi seperti perkawinan. Didalam kelompok tersebut biasanya terdapat pembagian wewenang (otoritas), hak tanggung jawab, serta peran-peran ekonomi dan seks. Definisi keluarga mungkin berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, yang menimbulkan perbedaan pula dalam standar perilakunya. Unit Nuclear Family terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak mereka, dan Extended Family, terdiri atas orang tua, anak-anak, kakek-nenek, bibi, paman dan lain-lain yang tinggal bersama. Pada extended family, orang tua mempertahankan otoritas atas perkawinan diantara sepupu dilarang. Pada nuclear family unit keluarga tidak tergantung, perkawinan antar sepupu dianggap normal. Nuclear family adalah tipe keluarga yang menonjol dalam masyarakat industri, sedangkan extended family banyak ditemukan pada kultur masyarakat agraris.

Menurut W. Kornblum (1989), dewasa ini keluarga mengalami perubahan-perubahan dari extended family menjadi nuclear family, dan single earner menjadi dual earner, dari agraris ke industri dan teknologi. Bahkan definisi keluargapun berubah dari kumpulan orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah atau perkawinan menjadi atas dasar companionship (kesepakatan atau komitmen) saja, seperti yang dilakukan oleh para kaum homo seksual di Amerika Serikat. Bila perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan akibat negatif pada fungsi utama keluarga, yaitu memelihara dan membesarkan anak, mungkin bukan masalah. Akan tetapi, bila terjadi sebaliknya maka itu adalah sebuah masalah.

Semua keluarga secara kontinyu berubah, sebab mereka harus secara konstan menyesuaikan diri dengan siklus perkembangan keluarga, dimana peran-peran dari semua anggota keluarga berubah. Misalnya, sebagian besar keluarga melampaui tahap-tahap pra nikah, membesarkan anak, kesepian, dan pensiun. Selama dalam tahap dan pada masa transisi ke tahap yang lain, keluarga menghadapi tantangan untuk mempertahankan stabilitas atau kontinuitas, sehingga berfungsi secara memadai. Menurut Glasser dan Glasser (1965) ada lima kriteria keluarga berfungsi memadai, yaitu :

Konsistensi peranan internal di antara anggota keluarga.

Konsistensi peran-peran dan norma-norma keluarga, serta penampilan peran aktual.

Penyesuaian peran-peran dan norma-norma keluarga dengan norma-norma masyarakat.

Kemampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis anggota-anggota keluarga.

Kemampuan keluarga dalam merespons perubahan-perubahan.


Kegagalan melaksanakan fungsi-fungsi ini dapat menimbulkan masalah-masalah dalam keluarga. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal. Krisis eksternal berasal dari luar, misalnya orang tua menganggur karena terkena PHK. Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas, dan senua anggota akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan ekonomi. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder, ketidaksetiaan perkawinan dan lain-lain. Perubahan besar dalam satu peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak, atau tiba-tiba berhenti bekerja.

Tekanan-tekanan dan masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell” dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban, dan berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kenakalan anak dan remaja. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya masalah kenakalan remaja, bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak remajanya.


Model Pendekatan Dalam Memahami Remaja


Kenakalan anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam upaya pemecahannya. Tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa mereka dan dalam kondisi apa. Jones dan Pritchard (1985) mengemukakan lima model pendekatan untuk memahami remaja, yaitu :


1. Model Konstitusi (Constitutional Model)


Model ini memahami remaja dari perkembangan biologis dan fisiologis. Perkembangan fisik dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah bagi remaja, terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan, rendah diri, yang akhirnya sulit  berkomunikasi dan tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh bulu dan lain-lain. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting untuk membimbing mempersiapkan berbagai kemungkinan menghadapi perkembangan biologis dan fisiologis.


2. Model Krisis Identitas (Identity Crises Model)


Model ini memahami remaja berdasarkan pemahaman remaja terhadap identitas dan konsep dirinya. Memandang remaja mengalami krisis identitas, belum memiliki kejelasan tentang siapa dirinya, apa potensinya dan apa kekurangannya. Berdasarkan model ini, remaja harus dibantu untuk menjawab pertanyaan siapa saya?, sehingga memperoleh kejelasan tentang konsep diri dan identitas dirinya. Bila tidak, remaja akan mengidentifikasi dan melakukan imitasi identitas orang lain, terutama tokoh idolanya sebagai dirinya. Masalah muncul bila tokoh yang menjadi idolanya adalah tokoh mafia, yang sering digambarkan sebagai pembunuh berdarah dingin. Dalam hal ini peran orang tua dan para profesional yang berkepentingan mempunyai tanggung jawab untuk membantu remaja agar memiliki kejelasan terhadap identitas dan konsep dirinya.


3. Model Kebutuhan (Need Model)


Mengacu pada teori kebutuhan untuk memahami remaja. Menurut teori kebutuhan Maslow (1970), bila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman terpenuhi, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak akan banyak menemukan kesulitan yang berarti. Kedua kebutuhan tersebut sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan remaja yang lainnya. Remaja sering menampilkan perilaku kasar bila perutnya lapar, kurang tidur an perasaannya tidak aman. Dalam hal ini orang tua sangat berperanan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisiologis dan rasa aman remaja.


4. Model Belajar Sosial (Social Learning Model)


Memandang bahwa remaja sangat sensitive atas model-model perilaku di lingkungannya. Bandura (1970) mengemukakan sebuah teori bahwa apabila seseorang terekspos pada satu model perilaku, kemudian exposure tersebut terjadi berulang-ulang (repetition), maka akan terjadi retention (penyimpanan dalam long-term memory). Bila ini terjadi, maka seseorang tersebut akan mengikuti model perilaku tersebut. Exposure ini biasanya dialami remaja dari media massa terutama televisi atau dari lingkungan sebayanya. Bila model perilaku yang menempa remaja tersebut ternyata dianggap cocok, maka remaja akan mengikuti model perilaku tersebut.  Selain itu, pada saat berkumpul dengan lingkungan kelompoknya, biasanya mereka berperilaku sama, yang sebenarnya merupakan hasil belajar sosial. Masalah muncul apabila model perilaku yang mengeksposnya adalah model perilaku negatif atau menyimpang. Orang tua dan para profesional yang berkepentingan juga mempunyai tanggung jawab dalam hal mencegah tereksposnya remaja pada model-model perilaku negatif atau menyimpang, atau mempersiapkan remaja agar memiliki ketahanan dalam menghadapi pengaruh model-model perilaku tersebut.


5. Model Stress (Stress Model)


Memandang bahwa setiap orang pasti mengalami stress pada suatu saat. Kemampuan mengatasi stress (Coping Ability) sangat berperanan. Stress yang tidak teratasi akan mengakibatkan kecemasan, baik kecemasan ringan, seperti berkeringat, sampai kecemasan berat seperti psikosomatis. Daya untuk mengatasi atau mengelola stress pada diri remaja perlu dikembangkan. Banyak kasus-kasus kenakalan remaja disebabkan oleh stress dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi. Pelatihan-pelatihan untuk mengatasi stress dapat membantu para remaja mengembangkan coping ability.



Pemberdayaan Untuk Memperkuat Keluarga


Pemberdayaan keluarga yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan anak dan remaja didasarkan atas asumsi-asumsi untuk memperkuat keluarga. Seorang Pekerja Sosial yang menggunakan model pemberdayaan didalam prakteknya akan mampu membantu keluarga yang mengalami masalah dimana : 1) mereka sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap masalahnya akan tetapi akan bertanggung jawab terhadap solusi terhadap masalah tersebut; 2) membantu profesional dalam mencapai keahlian yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah; 3) resolusi masalah yang menuntut kolaborasi antara keluarga dan “penolong” sebagai suatu kesatuan; 4) relasi mereka dengan beberapa institusi sosial akan mempengaruhi etiologi dan terpeliharanya masalah yang dialami oleh mereka, misalnya relasinya dengan polisi, rumah sakit, sekolah, lembaga probasi; 5) sistem tidak monilitis tetapi terbentuk dari subsistem dan cara-cara yang efektif yang berhubungan dengan sistem ini dapat dipelajari dalam cara yang sama dimana relasi dengan individu-individu dapat dipelajari.


1. Enabling

Asumsi dari strategi ini adalah bahwa keluarga mungkin memiliki sumber-sumber yang tidak selalu dikenali sebagai hal yang bermanfaat didalam pencapaian sistem apa yang keluarga butuhkan. Enabling menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk menyediakan informasi atau kontak yang akan memberikan kemampuan terhadap keluarga untuk memanfaatkan sumber-sumber yang ada pada keluarga lebih efektif. Keluarga mencoba untuk memperoleh pelayanan dukungan khusus untuk anaknya yang mengalami kegagalan di sekolah. Keluarga diberikan kemampuan untuk dapat menghadapi otoritas sekolah dan mendapatkan pelayanan.


2. Linking

Asumsi strategi ini bahwa keluarga dapat memperbesar kekuatannya sendiri melalui berhubungan dengan orang lain yang dapat menyediakan persepsi-persepsi dan atau kesempatan-kesempatan baru. Mungkin keluarga berhubungan dengan orang lain untuk menyediakan kekuatan kolektif yang dapat membuat lebih kuat didalam menghadapi sistem. Linking menunjuk pada tindakan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk menghubungkan keluarga-keluarga kepada keluarga-keluarga lain, kelompok atau jaringan kerja.


3. Catalyzing

Asumsi strategi ini bahwa keluarga memiliki sumber-sumber akan tetapi sumber tambahan dibutuhkan sebelum sumber yang ada pada keluarga digunakan secara penuh. Sebagai contoh, apabila orang tua memiliki keterampilan kerja, maka mereka akan membutuhkan pekerjaan sebelum keterampilan tersebut digunakan. Catalyzing menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk mendapatkan sumber-sumber yang menjadi prasyarat untuk keluarga menggunakan secara penuh sumber-sumbernya yang sudah ada.


4. Priming

Asumsi strategi ini bahwa banyak sistem dimana keluarga yang tadinya memiliki respon negatif, diarahkan kepada pemberian respon yang lebih positif.  Keluarga menjadi berpengalaman didalam berhubungan dengan konflik. Sebagai contoh, seorang ibu diberi kemampuan untuk mendiskusikan reaksi anak laki-lakinya terhadap situasi stress di rumah dengan konselor sekolah dan gurunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar